Bicara Eceng Gondok di Rawa Pening hingga Ancaman Perubahan Iklim
"Perubahan iklim itu nyata. Hal ini sedang terjadi saat ini dan merupakan ancaman paling mendesak yang dihadapi seluruh spesies kita. Kita perlu bekerja sama dan berhenti menunda-nunda.” Leonardo Di Caprio, Aktor & Pecinta Lingkungan
Sore itu langit mendung, pertanda sebentar lagi rintik hujan membasahi Rawa Pening. Seorang nelayan berbaju hitam bercaping merah tak bergerak dari perahunya. Tetap bergeming sembari memandang air tenang yang sebagian tertutupi oleh eceng gondok. Tak beranjak meskipun tahu sebentar lagi jarum langit bakalan menderas. Sementara 3 nelayan lainnya berjibaku mengangkat jala berisi ikan-ikan.
Nelayan-nelayan menangkap ikan di Rawa Pening. Dokumentasi pribadi |
Tak berselang lama, nelayan tersebut melangkahkan kakinya, menyapa ramah saya seraya menawarkan ikan hasil tangkapannya, "mau ikan Mbak, ini saya ada mujair dan nila." Sang nelayan lantas bercerita bahwasanya ia kerap kesulitan menangkap ikan-ikan. Apalagi saat musim kemarau dan populasi eceng gondok meledak. Cukup getir terucap, sang nelayan menambahkan, "dulu kami bisa menangkap ikan dari puluhan hingga beberapa ratus kilo dalam sehari. Sekarang dapat belasan kilo saja sudah bersyukur."
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pertanian, Perikanan, dan Pangan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang, ada sekitar 1600 nelayan yang menggantungkan hidupnya dari Rawa Pening. Namun demikian, akhir-akhir ini para nelayan kesulitan menangkap ikan dikarenakan populasi ikan konsumsi kian menyusut. Salah satu faktor penyebabnya yakni spesies invasif eceng gondok yang tumbuh lepas kendali menjadikan volume air danau berkurang serta mengalami pendangkalan. Pun hadirnya ikan-ikan predator seperti red devil turut memperkeruh masalah ini.
Menjaga keanekaragaman hayati melalui penebaran puluhan ribu bibit ikan di Rawa Pening tahun 2023. Dokumentasi RRI. |
Populasi eceng gondok (Eichornia crassipes) menjadi ancaman serius bagi para nelayan tangkap yang mengandalkan hidup mereka pada perburuan ikan-ikan seperti mujair, nila, lele, bawal, betutu, wader, kutuk, bahkan lobster air tawar di kawasan Rawa Pening. Juga berdampak fatal pada perikanan budidaya di keramba-keramba jika debit air mengalami penyusutan selama musim kemarau, sementara eceng gondok populasinya semakin meluas dan beregenerasi dengan kecepatan tinggi.
Dua nelayan dalam perahu tengah berburu ikan di Rawa Pening. Dokumentasi pribadi |
Pun saluran irigasi yang mengairi lahan-lahan pertanian menjadi terhambat jika elevasi air danau menurun secara signifikan. Hadirnya spesies invasif eceng gondong menjadikan Rawa Pening sebagai danau yang terbilang kritis secara ekologis jika populasinya tidak terkontrol. Spesies invasif satu ini menghambat laju perahu nelayan, mengganggu lalu lintas perairan. Mereka mampu menggandakan populasinya secara pesat dan masif. Serta mampu menutupi sebagian besar permukaan air yang tentunya berdampak buruk bagi ekosistem dan ragam kehidupan akuatik yang ada di sepanjang Rawa Pening.
Sebelum ledakan populasi eceng gondok (warga lokal menyebutnya sebagai bengok), Rawa Pening dulu dikenal sebagai danau alami yang airnya jernih. Terletak di cekungan terendah Gunung Merbabu, Ungaran, dan Telomoyo, Rawa Pening merupakan salah satu aset berharga di Kabupaten Semarang. Danau yang airnya tenang ini meluas hingga menjangkau 4 kecamatan yakni Kecamatan Banyu Biru, Tuntang, Bawen, dan Ambarawa.
Terbilang kritis, Rawa Pening bersama 14 danau lainnya kini menjadi salah satu dari Danau Prioritas Nasional yang harus diselamatkan dari kerusakan. Tidak terlalu mengejutkan kabar tersebut, lantas pertanyaan pun muncul di benak saya, jika Rawa Pening ditetapkan sebagai salah satu Danau Prioritas Nasional, kriteria apa yang mendasarinya?
Beberapa hal yang patut diperhatikan dan menjadi alasan penyelamatan Danau Prioritas yakni danau tersebut telah mengalami degradasi atau penurunan kualitas (misal karena sampah, limbah, ledakan populasi eceng gondok), terdapat kerusakan pada sempadan danau (misal terjadi karena kawasan sabuk hijau mengalami alih fungsi lahan), pengurangan volume tampungan air dan luas danau, penurunan keanekaragaman hayati.
Danau Rawa Pening memiliki kekayaan biodiversitas yang beraneka dan unik mulai dari eceng gondok, gastropoda, lotus, keladi, ikan endemik, dan masih banyak lagi. Ikan endemik di sini berjenis wader. Tahun 2021, mahasiswa UNDIP bernama Nisrina Septi Haryani melakukan riset morfologi, morfometri, dan keanekaragaman genetik DNA melalui pendekatan DNA barcoding berhasil mendeteksi 3 spesies endemik ikan Rawa Pening yakni wader ijo (Osteochilus vittatus), wader bintik dua (Barbodes binotatus), dan ikan Lumajang (Cycloceilichthys enoplos).
Menurut Nisrina, penelitian seperti ini sangatlah penting dan berperan dalam mengindentifikasi beragam jenis ikan wader baik dari segi morfologi maupun molekuler. Sekaligus juga menginventarisasi data spesies ikan untuk mengetahui hubungan filogenetiknya di kawasan Danau Rawa Pening. Sebab jika merujuk penelitian di tahun 2006, ikan wader Rawa Pening ragamnya lebih variatif jika dibandingkan penelitian Nisrina di tahun 2021, artinya terdapat penyusutan spesies ikan wader. Filogenetika sendiri merupakan studi kekerabatan dan hubungan evolusi entitas biologis berdasarkan materi genetik melalui pengurutan DNA dan RNA.
Ikan endemik Rawa Pening. Dokumentasi FIPK UNDIP |
Menjelang musim kemarau, volume air danau mengalami penyusutan. Hal ini perlu diwaspadai sebab seperti yang sudah saya jelaskan di awal, penyusutan volume ini berpengaruh pada sulitnya nelayan menangkap ikan-ikan konsumsi, termasuk pula terbatasnya pasokan air yang mengalir ke lahan-lahan pertanian. Dua hal ini berpotensi mengguncang ketahanan pangan lokal.
Selain pendangkalan akibat pembuangan limbah dan ledakan populasi eceng gondok, perubahan iklim ditengarai menjadi faktor selanjutnya yang memicu penurunan elevasi air permukaan Danau Rawa Pening. Tahun 2023, Danau Rawa Pening terdampak El Nino. Efeknya adalah terjadi penurunan 50 cm air permukaan. El Nino ini juga membuat musim kemarau jauh lebih panjang dan curah hujan di kawasan Rawa Pening menjadi sangat rendah jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah dunia, di mana terjadi kenaikan suhu bumi secara signifikan, percepatan penguapan air permukaan tanah dan badan air (danau, laut, dan sungai), serta cuaca ekstrim di berbagai belahan dunia.
Dalam sesi Kuliah Daring: Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati yang diselenggarakan oleh #KEHATI, narasumber Moekti H. Soejahmoen selaku direktur Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID) menuturkan bahwa isu perubahan iklim adalah isu krusial dan patut menjadi perhatian banyak orang. Sebab perubahan iklim efeknya dahsyat dari berbagai sisi. Perubahan Iklim memiliki mata rantai dampak yang saling bertautan mulai dari level primer, sekunder, hingga turunan.
Dampak primer dari krisis iklim bisa kita amati melalui berubahnya karakteristik musim hingga cuaca ekstrem. Perubahan karakteristik musim bisa dicontohkan dengan hadirnya gelombang panas yang tinggi dan curah hujan yang rendah selama berbulan-bulan, memicu musim kemarau yang sangat panjang di suatu wilayah (dampak sekunder). Seumpama domino effect, kemarau panjang tersebut mengakibatkan terusiknya aktivitas ekonomi (sektor perikanan, peternakan, pertanian, transportasi), kebakaran hutan dan lahan, terganggunya ketahanan pangan dan energi, serta terancamnya keanekaragaman hayati (dampak turunan). Informasi lebih lengkap mengenai Kuliah Daring: Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati bisa kita saksikan langsung di Youtube Kehati Official @YayasanKEHATI atau klik tautan berikut ini.
Mengenai perubahan iklim, penanganannya pun harus terintegrasi. Moekti H. Soejahmoen menambahkan, "bicara mengenai penyebab, kita bisa melakukan mitigasi baik dengan mengurangi atau menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan adaptasi terhadap perubahan yang sudah terjadi."
Nah, adaptasi bisa dilakukan dengan mengubah gaya hidup (lifestyle) yang nantinya memberikan implikasi sosial dan ekonomi bagi masyarakat. Terlebih untuk mengurangi carbon footprint. Seperti dilakukan oleh ecopreneur Firman Setyaji yang berinovasi menciptakan peluang green job melalui bisnis berkelanjutan dari eceng gondok di Rawa Pening. Kabar baiknya, produk ramah lingkungan dengan label Bengok Craft yang dirintas Firman setyaji ini telah melanglang buana lho. Dari Jepang, Dubai, Italia, Singapura, dan Spanyol. Uhuy!
Bengok Craft: Kurangi Jejak Karbon dan Peluang Green Job dari Rawa Pening
Masyarakat di sekitar Rawa Pening menyebut eceng gondok sebagai bengok. Meskipun mengganggu perairan, eceng gondok atau bengok pada dasarnya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kompos, pakan ternak, dan biogas. Bagi insan kreatif macam Firman Setyaji sang pendiri Bengok Craft, eceng gondok bisa menjadi berkah sekaligus mencetak pundi-pundi rupiah. Wah produk inovatif macam apa ya yang dihasilkan dari batang-batang bengok tersebut?
Eceng gondok. Sumber: kompas.com |
Hujan belum beranjak pergi membuat saya harus segera menepi. Untung saya sudah dekat dengan lokasi. Mantel dari ojek daring membuat saya terlindungi dari tetesan jarum langit yang deras. Di tepi Jalan Fatmawati, tidak jauh dari Pasar Templek Dusun Sejambu, Kesongo, terdapat sebuah galeri yang menampilkan beragam produk kreatif dari eceng gondok. Destinasi penghentian saya memang di sini, tepatnya di galeri Bengok Craft.
Saya pun segera membuka pintu galeri. Sejurus kemudian tatapan saya tertaut pada jaket dengan ornamen berhiaskan eceng gondok. Sangat eye-catching dan berkesan etnik. Saya tertarik untuk membelinya. Kapan lagi saya bisa memiliki outfit secantik ini? Saya rasa saya tidak akan menemukan jaket seunik ini jika saya berbelanja di Tanah Abang.
Pandangan mata saya kemudian beredar ke etalase yang menampilkan sandal dari eceng gondok dengan berbagai ukuran. Juga aneka tas, topi, dompet, buku, tempat tisu, dan masih banyak lagi. Wah, rasanya saya kalap ingin memborong banyak!
Fashion berkelanjutan Bengok Craft. Dokumentasi pribadi |
Jaket unik berornamen eceng gondok. Dokumentasi pribadi |
Bengok Craft didirikan Firman Setyaji pada tahun 2019. Ada 3 hal yang menyita perhatian Firman sebelum merintis Bengok Craft. Pertama, eceng gondok di satu sisi jika populasinya tidak terkendali bisa menciptakan kiamat ekologis bagi Rawa Pening. Di sisi lain gulma invasif ini memiliki peluang ekonomi. Kedua, bagaimana memberdayakan masyarakat dengan memberikan peluang ekonomi agar mereka mendapatkan taraf hidup yang lebih baik. Ketiga, bagaimana menciptakan produk ramah lingkungan yang tentunya prospektif secara komersial dan disukai banyak orang.
Fashion berkelanjutan Bengok Craft. Dokumentasi Bengok Craft |
Perlu diketahui, industri fashion terkhusus fast fashion menyumbang jejak karbon yang sangat besar. Tentunya hal tersebut berpengaruh pada menumpuknya lapisan Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang berdampak pada perubahan iklim. Limbah fashion juga berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Inilah yang menjadi pijakan Firman untuk fokus menciptakan sustainable fashion dengan material eceng gondok agar semaksimal mungkin mengurangi jejak karbon dan kerusakan lingkungan. Maka tidak heran konsumen Bengok Craft merupakan milenial dan gen z yang tertarik pada produk-produk eco-friendly dan berkelanjutan.
Firman Setyaji (founder Bengok Craft) dan batang-batang eceng gondok segar. Dokumentasi pribadi |
Proses pengeringan/penjemuran eceng gondok. Dokumentasi pribadi |
Hartini dan alat pemipih batang eceng gondok. Dokumentasi pribadi |
Liputan media, pameran bareng Kemenparekraf, hingga pembeli produk Bengok Craft |
Eceng gondok di beberapa tempat dirasa menggangu, tapi bagi mereka yang terampil dalam memanfaatkan peluang, eceng gondok itu bisa jadi produk fashion berkelanjutan. Keren sih kak. Saya suka dengan jaketnya.
BalasHapus