Dokumentasi di atas merupakan bagian dari forest journey yang saya dapatkan untuk ketiga kalinya. Saat itu sebelum pandemi, saya berkesempatan mengunjungi kawasan gambut yang ada di Kalimantan Tengah. Pemandangan di kawasan hutan tersebut sangatlah asri, namun sangat disayangkan saya mendapati beberapa titik bekas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta pernah ada indikasi pembalakan liar.
Hutan di Indonesia tidak bisa dikatakan aman, apalagi dengan adanya deforestasi secara terencana (misal pembukaan hutan dan lahan untuk perkebunan sawit). Saya pikir pandemi mampu mengerem ambisi manusia untuk tidak melakukan deforestasi secara membabi buta. Pasca pandemi, kegiatan deforestasi sudah kelihatan taringnya.
Kabar baiknya, pada kali ini saya berkesempatan mengikuti online gathering dengan tajuk "Bergerak Berdaya, Indonesia Merdeka dari Kebakaran Hutan dan Lahan #ecobloggersquad. Konten atau materinya memfokuskan pada isu gambut dan kebakaran hutan. Ada beberapa poin yang saya catat dan akan saya bagikan melalui tulisan ini.
Mengapa gambut? Perlu diketahui pembaca sekalian, Indonesia memiliki lahan gambut terluas setelah Kongo dan Brazil. Gambut berperan penting dalam hal menampung jumlah karbon, air, mencegah perubahan iklim, menunjang ekosistem di sekitarnya, mencegah dari terjadinya bencana alam, dan lain-lain.
Gambut merupakan ekosistem berupa lahan basah yang terbentuk dari penumpukan material organik (misal bangkai hewan atau pelapukan tanaman hutan yang membusuk) dan berproses selama ribuan tahun. Kedalaman gambut bisa mencapai 10 hingga 15 meter. Kaki saya pernah amblas sedalam 40 cm di lahan gambut, membuat celana yang saya gunakan basah dan kotor. Gambut banyak tumbuh di wilayah hutan hujan tropis seperti Indonesia dan Brazil. Di Indonesia sendiri gambut banyak ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Seperti sudah saya tulis di atas, salah satu manfaat lahan gambut adalah menjaga kadar karbon di atmosfer. Diperkirakan gambut mampu menyerap 30% jumlah karbon yang ada di udara. Maka dari itu, jika ekosistem ini terganggu, maka gas-gas seperti karbon dioksida, metana, dam sebagainya akan terlepas di udara dan ini berpengaruh terhadap perubahan iklim.
Ancaman terbesar ekosistem gambut adalah terjadinya karhutla, baik secara disengaja maupun karena faktor alam. Selain karhutla juga deforestasi untuk memenuhi kebutuhan industri.
Beberapa kasus kebakaran terbesar yang menganncam ekosistem gambut di Indonesia;
1. Kebakaran hutan di tahun 1982. Kebakaran ini terjadi di wilayah Kalimantan Timur dan terjadi akibat fenomena El Nino. Tak tanggung-tanggung, kebakaran tersebut memakan luas wilayah mencapai 3,2 juta hektare. Sangat besar ini lho. Dengan area yang hangus seluas ini, bagaimana nasib ekosistem gambut yang berada di sekitarnya, tentunya sudah pasti rusak. Bahkan secara ekonomi, kerugiannya mencapai 9 miliar USD! Kejadian ini juga membuat negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura terkena dampaknya (berupa asap yang menganggu pernapasan).
2. Kebakaran hutan 1997 dan 1998. Termasuk kebakaran hutan terparah, selain menghanguskan 9,7 juta hektare lahan, kejadian ini mengakibatkan pula indeks polusi udara ke level berbahaya. Kerugian yang ditanggung diperkirakan mencapai 4,4 miliar USD.
3. Kebakaran hutan di tahun 2015. Membakar sekitar 2,6 juta hektare lahan. Pada kebakaran ini, ekosistem gambutbdi beberapa kawasan di Kalimantan tengah rusak. Diperkirakan kerugian secara ekonomi mencapai 16,1 miliar USD.
4. Kebakaran hutan di tahun 2019. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, area hutan yang terbakar di tahun itu mencapai 1,6 juta hektare. Ingat banget pada tahun ini, banyak sekolahbyang berlokasi tak jauh dari tempat kejadian akhirnya diliburkan.
Bagaimana dengan 2023? Pantau Gambut menemukan 5030 titik panas di beberapa lokasi selama bulan Januari hingga Mei 2023. Kota Dumai dan Bengkalis menjadi kawasan yang paling rentan terhadap bencana ini di sepanjang Januari-Mei 2023.
Nah, seperti apa upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya karhutla, terutama yang dapat mengancam ekosistem gambut. Ada beberapa fase. Di fase pencegahan cara yang dilakukan dengan sosialisasi terhadap masyarakat, merevisi pemberian ijin pembukaan lahan di area gambut, pengamatan titik rawan kebakaran yang intensif. Tindakan pascakebakaran bisa dilakukan dengan pembuatan kebijakan tentang restorasi gambut, melakukan monitoring program restorasi gambut
Saya berharap melalui tulisan ini kesadaran masyarakat sekitar terhadap karhutla yang terjadi hampir sepanjang tahun kian meningkat. Partisipasi restorasi gambut tidak hanya melibatkan sektor pemerintah dan LSM/NGO, masyarakat, tetapi juga media dalam memberikan informasi yang kredibel dan transparan. Sebagai pungkasan, saya berdoa dan berharap semoga di tahun-tahun mendatang Indonesia merdeka dari Karhutka. Apakah mungkin? Semoga.