Transisi produksi menggunakan alat berteknologi yang terjadi di Inggris di tahun pada tahun 1760 merupakan tonggak awal munculnya revolusi industri. Menurut Encyclopaedia Britanica, revolusi industri merupakan proses perubahan dari ekonomi tradisional (agraris dan kerajinan) menuju ke ra manufaktur mesin. Semua serbaautomasi, tenaga manusia digantikan dengan mesin.
Di satu sisi munculnya revolusi industri membuka kemudahan serta skala ekonomi dan produksi yang besar lagi masif. Untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus meningkat dan jumlah populasi yang kian bertambah, maka pembukaan lahan baru dan hutan-hutan mau tak mau menjadi jalan pintas.
Di sisi yang lain, polusi udara akibat industrialisasi selama ratusan tahun tersebut berefek pada meningkatnya aktivitas gas rumah kaca di atmosfer yang berujung pada kenaikan suhu bumi. Kondisi inilah yang dikhawatirkan para ahli yang dikenal dengan istilah perubahan iklim.
Terjadinya cuaca ekstrem yang sebelumnya tidak pernah terjadi sebelumnya, bisa jadi merupakan pertanda terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir, menunjukkan kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Dimana, Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami trend kenaikan > 0,3°C per dekade.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh Wordwide Journal of Enviromental Analysis and Public Well Being 2018, efek perubahan iklim yang mengakibatkan terjadinya bencana alam bakal berakibat pada meningkatnya krisis kemanusiaan.
Mesin-mesin industri negara-negara barat dan sebagian besar Asia Timur menjadi penyumbang polusi dan meningkatnya aktivitas gas rumah kaca. Yang berdampak perubahan iklim tidak hanya kawasan yang saya sebutkan itu, tetapi juga negara-negara lain, negara dunia ketiga, negara miskin, dan juga negara berkembang seperti Indonesia.
Pascabanjir di Jeddah. Sumber: CNBC |
Jeddah misalnya, kawasan di Arab Saudi yang memiliki iklim gurun dan jarang terkena banjir beberapa waktu lalu diamuk banjir bandang yang menelan korban jiwa dan kerusakan di sana-sini (fasilitas umum dan puluhan rumah terendam). Banjir parah tersebut terjadi setelah curah hujan 179mm selama 6 jam tanpa henti.
Negara-negara produsen emisi yang sebagian besar merupakan negara maju menyumbang sekitar 80% produksi emisi tahunan. Negara-negara ini juga sudah lebih sigap dalam hal pendanaan, teknologi, serta regulasi ketika menghadapi ancaman perubahan iklim dan bencana. Akan tetapi, tidak demikian dengan negara-negara lain yang minim proteksi. Sebab semua bakal terkena dampaknya.
Keadaan seperti ini yang menuntut adanya KEADILAN IKLIM atau CLIMATE JUSTICE. Anyway, apa itu keadilan iklim? Istilah keadilan iklim masih cukup asing di Indonesia. Isu keadilan iklim menjadi isu hot seiring mengemukanya isu perubahan iklim. Semakin mendunia semenjak Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan pertama kalinya di Rio De Janeiro.
Keadilan iklim atau Climate justice menilik bagaimana kita memandang isu krisis iklim dari lensa keadilan. Kita melihat berbagai ketimpangan dan fenomena yang terjadi dan berusaha mencari titik temu atau titik terang dengan berprinsip pada keadilan (misal keadilan ekonomi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar