Perempuan itu kerap disapa Butet Manurung, nama aslinya Saur Marlina Manurung. Perempuan kelahiran 21 Februari 1972 tersebut merupakan aktivis sosial, antropolog, sekaligus pendiri Sokolo Rimba. Sokola Rimba adalah sekolah rintisan yang ditujukan bagi anak-anak Orang Rimba atau bisa juga dikenal sebagai Suku Kubu yang tinggal di pedalaman Jambi. Konsep sekolahnya adalah memberikan pendidikan dan pengetahuan bagi masyarakat adat. Kini Sokola Rimba telah bertransformasi menjadi Sokola Institute yang telah memberikan manfaat kepada lebih dari 15.000 masyarakat adat. Bisa dikatakan Sokolo Institute menjadi lembaga pelopor yang membidani pendidikan untuk masyarakat adat.
Sokola Rimba, anak-anak Orang Rimba, dan Butet Manurung (Sumber: Trivia.ID) |
Tidak seperti kurikulum pada umumnya di mana kita belajar di ruang-ruang kelas (catatan: sebelum pandemi menyerang), di Sokola Alam ruang kelasnya adalah hutan dan alam. Di mana, di sana anak-anak dari masyarakat adat belajar membaca, menulis, dan menghitung.
Kenapa Butet Bersikukuh ingin menghadirkan pendidikan bagi anak-anak dari komunitas adat di pedalaman? Di sebuah acara dengan beliau sebagai narasumbernya (Inspirato), Butet mengatakan begini, “Bukan anak yang harus menyesuaikan sistem pendidikan yang ada, namun sistem pendidikanlah yang harus menyesuaikan dengan keadaan anak-anak mereka.” Butet juga ingin menghadirkan pendidikan tidak hanya untuk anak laki-laki, tetapi juga anak perempuan karena pada awalnya pendidikan untuk anak perempuan adalah tabu. Bahkan niat awal membawa misi pendidikan dan pengajaran ini sempat ditolak karena Orang Rimba berpikir pendidikan adalah kejahatan yang berbahaya dan bisa mencelakai mereka.
Mirisnya adalah dengan keadaan yang miskin literasi dan numerasi, masyarakat adat mudah tertipu dan terpedaya oleh orang asing yang berniat merampas tanah mereka. Inilah yang menjadikan Butet terketuk hatinya untuk memberikan pendidikan yang sesuai dengan anak-anak Orang Rimba. Takjub sekali saya dengan Butet Manurung, bahkan dari pertama kali saya membaca kisahnya yang dituang dalam buku SOKOLA RIMBA dengan ketebalan lebih dari 300 halaman.
Setiap tahun kerap terjadi sengketa lahan atau konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat. Menurut Sandayati Moniaga selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, sengketa ini terjadi karena beberapa hal seperti tidak adanya pengakuan wlayah dari negara, adminsitrasi yang menyulitkan, serta penanganan konflik yang terkesan tidak serius. Maka dari itu, saya pikir penting bagi kita untuk mendukung Undang-undang Masyarakat Hukum Adat agar segera terealisasi. Undang-undang ini nanti memberikan payung hukum sekaligus perlindungan yang jelas bagi masyarakat adat yang rentan terdampak konflik sosial dan ekonomi.
Beberapa waktu lalu saya mengikuti virtual gathering yang diadakan oleh Blogger Perempuan, #EcobloggerSquad, dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Narasumber dalam virtual gathering tersebut adalah Mina Setra (Deputi IV Sekjen AMAN Urusan Sosial dan Budaya). Bu Mina yang merupakan orang Dayak Kompang Kalimantan Barat ini menuturkan banyak hal mengenai masyarakat adat, seperti tantangan yang dihadapi hingga kreativitas dan produktivitas mereka dalam menciptakan seni kerajinan serta keanekaragaman hasil bumi.
"Dari hasil penelitian ternyata Orang Dayak Iban telah menciptakan 64 jenis padi lokal." begitu celotehnya ringan.
Tak hanya itu, menurut Bu Mina, sebagian dari orang yang berada di komunitas adat memiliki pengetahuan yang terstruktur mengenai seni dan kerajinan, misalnya pada tenun ikat. Jahitannya rapi dan polanya simetris, semuanya diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat adat menurunkan kemampuannya kepada anak dan cucunya, mereka bener-benar pewaris tradisi dan budaya.
Berikut contoh kreativitas dan produktivitas yang saya ambil tangkapan layar dari virtual gathering tersebut.
Dari tadi bicara mengenai masyarakat adat mulu. Sebenarnya apa sih masyarakat adat itu? Menurut AMAN, masyarakat adat (indigeneous people) adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun menempati wilayah adat, memiliki kedaulatan atas tanah, kekayaan alam, relasi sosial budaya, dan seperangkat aturan yang tunduk pada hukum adat. Jadi kenapa disebut masyarakat adat karena memiliki unsur-unsur seperti: ada wilayah adat yang mengikat, ada hukum adat yang berisi seperangkat aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, ada spiritual dan traditional knowledge yang unik.
Hukum adat di Indonesia berbeda-beda, karena setiap wilayah adat satu berbeda dengan lainnya. Saya ambil contoh hukum adat Awig-Awig di Desa Pakraman Bali mencangkup Mangaksama (minta maaf), Dedosan (denda uang), Kerampang (penyitaan harta benda), Kasepekang (tidak diajak berbicara dalam kurun waktu tertentu, Keselong (diusir dari desanya), Upacara Prayascita (upacara bersih desa).
Bu Mina menambahkan bahwasanya hukum adat hadir bukan untuk menghakimi, tetapi ia ada untuk menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam. Masyarakat adat dapat dianggap sebagai penjaga bumi. Hutan diibaratkan supermarket alam dan masyarakat adat mengambil apa-apa dari alam sesuai kebutuhannya. Tidak serakah. Karena masyarakat adat berpikir tidak hanya mengonsumsi untuk hari ini, tetapi juga bagaimana generasi selanjutnya juga ikut menikmati. Selain itu, bagaimana menjaga bumi agar tetap lestari.
Jadi dapat disimpulkan keberadaan masyarakat adat, hukum adat serta seperangkat hal yang ada di dalamnya menjadi bukti betapa kayanya keragaman di Indonesia. Jika tak ada pendekatan terhadap masyarakat adat seperti yang dilakukan oleh Butet Manurung di awal, masyarakat adat seperti Orang Rimba di Jambi menjadi mudah dimanipulasi dan tanahnya dirampas oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab. Menjadikan hal ini sebagai mata rantai konflik yang tak berkesudahan. Penting sekali perlindungan hak-hak masyarakat adat yang rentan terhadap konflik agraria. Maka dari itu perlu payung hukum dan itu terus diupayakan dalam Undang-undang Perlindungan Masyarakat Adat.
Sebagai pungkasan dukung terus masyarakat adat sebagai pemangku hukum adat, pewaris tradisi, sekaligus penjaga bumi ini. Karena kalau bukan kita yang mendukung, lantas siapa lagi?
Sebagai orang yang sangat suka baca tentang sejarah, sosial dan budaya, saya sering bertemu literasi tentang masyarakat adat. Sungguh menarik sekali dan keberadaan mereka menjadi kunci pelestari. Karena saya menemukan baaaaanyak sekali tradisi yang sudah hilang dan tidak jadi ingatan kolektif lagi. Sungguh sangat disayangkan.
BalasHapusJadi, sudah pasti saya mendukung beliau-beliau ini
Masyarakat adat dan hal-hal yang masih dijaga betul merupakan sebuah kearifan lokal yang sudah seharusnya kita jaga. Karena adanya masyarakat adat inilah, hutan Indonesia tetap lestari.
BalasHapusMemang gak bisa menafikan kalau peran masyarakat adat itu penting banget ya kak. Apalagi mereka dalan mengelola alam gak sembarangan. Perlu adanya perlindungan bagi kehidupan mereka sih.
BalasHapusMasyarakat adat ini menjadi satu pengetahuan baru yang mesti banget diketahui oleh org banyak khususnya para pelajar. Memang luar biasa yaa
BalasHapus