Sebagai sebuah ekosistem, hutan memiliki beragam fungsi. Hutan berperan penting dalam menjaga siklus keseimbangan air/udara, sumber keanekaragaman hayati, sekaligus sumber pangan dan papan. Keanekaragaman hayati gen, spesies, dan pada ekosistem hutan satu dengan hutan lain tidaklah sama dan masing-masing memiliki ciri khas. Vegetasi hutan di bumi Kalimantan tentu berbeda dengan yang ada di Jawa. Di Kalimantan, kamu bisa menemui buah-buahan hutan seperti buah rambai, buah kapul, keledang, durian merah, dan sebagainya. Tentu nama tersebut sangatlah asing, barangkali kamu juga belum pernah mencobanya. Adapun di Jawa, khususnya di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, kamu bisa menjumpai buah carica atau pepaya gunung sebagai oleh-oleh. Di Papua dan kawasan Indonesia Timur, kamu bisa mencicipi buah matoa (Pometia pinnata) yang memiliki rasa dan aroma yang khas.
Keanekaragaman hayati pada hutan turut berkontribusi pada sistem pertanian tradisional dan ketahanan pangan di suatu kawasan. Berawal mengambil langsung dari hutan, spesies-spesies hewan dan tumbuhan yang mulanya liar, kemudian didomestifikasi, dikembangkan di sistem pertanian lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Sebagian spesies yang lain tetap dibiarkan tumbuh di hutan, menjadi bagian yang menyatu dengan alam.
Deforestasi menjadi momok menakutkan yang mengancam kita semua, baik secara langsung maupun tak langsung. Cepat atau lambat. Tentunya masyarakat sekitar daerah yang mengalami deforestasi pasti bisa merasakan dampaknya. Deforestasi bisa dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja, intinya hutan ditebang secara serampangan, diambil kayunya, dibakar untuk mengubah lahan hutan menjadi nonhutan (misal menjadi kawasan bisnis, pemukiman, lahan sawit). Faktor terbesar yang berpengaruh terhadap laju deforestasi antara lain konversi lahan, illegal logging, kebakaran hutan, serta penggunaan kayu bakar (sumber : WWF). Menurut WALHI, organisasi independen nonprofit yang peduli terhadap isu lingkungan, menyatakan bahwa deforestasi menjadi ancaman serius bagi hutan Indonesia. Penyumbang terbesar deforestasi ini adalah konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang.
Masih terngiang jelas kala kebakaran hutan dan kabut asap melanda Sebagian Sumatera dan Kalimantan di tahun 2019 silam. Semua terkena dampaknya. Dana yang ditelan sebagai upaya untuk memadamkan asap/api pastinya tidak sedikit. Pasokan pangan semakin menipis, adapun distribusi logistik menjadi sulit. Banyak penerbangan menuju Sumatera dan Kalimantan atau sebaliknya yang dibatalkan dan ditunda. Tak terhitung seberapa besar keanekaragaman hayati hutan yang hilang akibat kebakaran tersebut. Kerugian tidak bersifat hanya material tetapi juga nonmaterial. Tubuh menjadi rentan terhadap penyakit, kondisi kestabilan psikologis menjadi terganggu.
Semua geram. Tentu saja. Namun demikian, sangat diperlukan tindakan preventif untuk mencegah hal tersebut terulang kembali di masa depan. Paling tidak terdapat langkah-langkah meminimalisasi deforestasi, semisal penghijauan atau aksi tanam sekian ribu batang pohon untuk sekian hektar tanah. Sebab hutan memiliki fungsi holistik, sebagai ketahanan pangan, sumber papan, obat-obatan, energi, keseimbangan siklus air dan udara. Jika satu keseimbangan terganggu, terganggu pula mekanisme kehidupan lainnya. Intinya, kita jaga hutan, hutan pulalah yang akan menjaga kita.
Memperingati Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April besok organisasi yang memiliki concern terhadap lingkungan hidup yakni WALHI, Hutan Itu Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari bekerjasama dengan Blogger Perempuan Network mengadakan virtual event "Eco Blogger Squad Earth Day Gathering" dengan tajuk "Hutan Indonesia Sebagai Salah Satu Solusi Perubahan Iklim."
Kenapa sih Arinta beberapa kali bikin artikel yang mengulas tentang hutan dan lingkungan hidup? Ini semua bermula ketika saya pertama kali menjejak bumi Kalimantan pada tahun 2019. Seharusnya keberangkatan saya dan tim dijadwalkan sekitar bulan Agustus kalau enggak September. Namun karena terjadi karhutla yang berlarut-larut, kedatangan saya ke Borneo tertunda hingga bulan Desember. Cukup lama kan? Itu semua belum cukup. Selain perihal penundaan keberangkatan, hati saya terperangah bercampur sedih ketika menyaksikan hamparan hutan pada titik-titik tertentu menghitam jika dilihat dari jendela pesawat. Kemudian terbersit hati saya untuk menuliskan mengenai hutan. Kita perlu menjaga hutan sebab nantinya hutan jualah yang akan menjaga kita.
|
Kebakaran hutan di Kalimantan Tengah dilihat dari udara. Dokumentasi: Antara Foto |
Dalam Eco Blogger Earth Day Gathering tersebut narasumber dari Walhi, yuyun Harmono menuturkan pentingnya menjaga hutan demi kelangsungan tidak hanya generasi hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang. Komunitas adat yang dekat dengan hutan yang paling terdampak secara langsung jika terjadi kerusakan hutan. Bagaimana tidak, komunitas adat mengandalkan hidup dari alam. Komunitas adat sangatlah tergantung pada hasil hutan dan sekitarnya. Salah satunya Komunitas Adat Seberuang. Komunitas ini berada di Dusun Silit, sebuah dusun yang berada di pedalaman Sintang, Kalimantan Barat. Hebatnya masyarakat adat Seberuang ini sudah mandiri atas ruang hidup dan energi. Sudah lama tinggal di hutan menjadikan komunitas adat Seberuang memanfaatkan hasil hutan secara lestari.
Kita perlu belajar kemandirian energi dari warga adat Seberuang, sebab komunitas ini menjadikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk menerangi dusunnya. Saat ini Komunitas adat Seberuang sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan hutan adat. Kita doakan semoga perjuangan ini segera berbuah manis.
Masih menurut Yuyun Harmono, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2009 hingga 2019), hidrometeorologi menjadi penyebab banyaknya bencana yang ada di Indonesia. Secara garis besar hidrometerologi merupakan bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim. Perubahan iklim bukan mitos gaes. Bukan isapan jempol. Perubahan iklim itu nyata adanya. Bencana hidrometeorologi menyebabkan banjir, puting beliung, angin bahorok, El Nino, La Nina, dan masih banyak lagi. Tahun 2021, setelah banjir bandang melanda Kalimantan Selatan, Siklon Seroja hampir menenggelamkan sebuah desa di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Cara mendekatkan dan memperkenalkan hutan kepada khalayak luas di era digital bisa dilakukan melalui cerita, melalui bertutur. Sesekali jalan-jalanlah ke hutan. Ceritakan betapa asyik dan serunya menjelajah hutan-hutan yang ada di Indonesia. Traveling ke gunung dan pantai sudah begitu mainstraim. Sesekali main-mainlah ke hutan. kemudian bagikan pengalaman tersebut melalui thread di twitter, postingan di blog, instagram story, podcast, dan sebagainya.
Utas saya mengenai pengalaman berkunjung ke Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah memiliki impresi 73.858 view secara keseluruhan, dengan tampilan media lebih dari 12.000 view. Saya kira angka ini sangatlah kecil jika dibandingkan trit viral lainnya. Namun demikian, saya sangat puas atas utas yang saya buat.
Saya mencintai hutan dengan cara sederhana, yakni dengan membagikan narasi perjalanan saya menjelajah hutan supaya orang lain terinspirasi untuk senantiasa menjaga hutan dan alam Indonesia. Tunjukkan kita bisa berwisata dengan cara yang baik, beretika, serta bertanggungjawab. Sebenarnya ada banyak cara mencintai hutan, jalan-jalan dan berbagi kisah salah satunya. Selain itu kita bisa berkampanye mengenai hutan, berdonasi untuk kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas lingkungan hidup, adopsi pohon dan bibit tanaman hutan, terakhir membeli produk lokal bukan kayu masyarakat setempat.
Cinta hutan, cinta juga produk lokal hasil hutan. Di artikel saya sebelumnya yang berjudul Lestarikan Cantikmu dengan Kopi Rempah Kalimantan Tengah, saya memperkenalkan komoditas lokal hasil hutan bukan kayu berupa kopi dan rempah yang diolah menadi minuman kesehatan dan tentunya bernilai komersil. Dengan membeli produk lokal berarti kita turut berkontribusi dan menciptakan pundi-pundi rejeki untuk petani dan juga wirausahawan yang menciptakan produk tersebut.
Selain itu saya merekomendasikan 2 produk lokal hasil hutan bukan kayu sebagai berikut. Su.Re Cofffe dan Sago Sapapua. Dua produk yang saya sebutkan ini menurut saya menarik karena turut berkontribusi pada isu perubahan iklim, kelestarian lingkungan, dan isu sosial (fair trade).
Pertama, Sago Pancake Mix SAPAPUA. Pati sagu ini diambil dari pohon sagu yang tumbuh alami di lahan gambut dan tentunya bebas pestisida, so bisa dipastikan sagu ini ramah lingkungan ya. Sagu ini diproduksi di Sorong Selatan, Papua Barat.
Produksi sagu ini memberdayakan masyarakat setempat. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk selaku perusahaan yang memproduksi sagu tersebut berkomitmen meningkatkan inovasi sekaligus upaya pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komitmen lain yang dilakukan Austindo Nusantara Jaya di antaranya: konservasi gambut serta tidak melakukan pengembangan baru di kawasan gambut pada kedalaman berapapun, mengurangi emisi gas rumah kaca, tidak melakukan pembakaran lahan, mengurangi polusi, melakukan proteksi dan konservasi kawasan hutan primer, dan mengurangi penggunaan pestisida.
Adanya fair trade, menjadikan industri yang menghasilkan suatu komoditas memberikan standar keamanan, keselamatan, kesejahteraan (sistem pengupahan) yang baik lagi adil bagi pekerjanya. Ini yang sudah dilakukan Austindo Nusantara Jaya. Tidak ada pekerja anak dan pekerja paksa di PT Austindo Nusantara Jaya. Perusahaan ini juga memerhatikan isu kesetaraan gender sehingga para pekerja perempuan diberi kesempatan yang sama dalam hal peningkatan taraf ekonomi. Para pekerja juga mendapatkan pemberian upah, bonus yang wajar, aserta promosi jabatan yang tidak bias gender. Keselamatan dan keamanan kerja (K3) dilakukan sesuai prosedur sehingga meminimalisasi angka kecelakaan kerja.
Kedua, Su.Re Coffe. Kopi ini diproduksi di Bali, kamu bisa mendapatkan kopi ini di Jalan Dalem Gede No 25 Mengwi, Badung, Bali. Seperti halnya Sagu Sapapua, Su.Re Coffee juga mendukung pengurangan efek gas rumah kaca, mendukung perubahan iklim, dan pemberdayaan petani lokal. Setiap kita membeli produk Su.Re Coffee, 15% digunakan untuk biogas dan sekolah lapangan iklim.
Balik lagi ke topik Eco Blogger Earth Gathering. Gita Syaharani dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari menyentil isu pembangunan rendah karbon sebagai langkah yang ditempuh pemerintah yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional (pergeseran paradigma menuju ekonomi hijau). Pembangunan rendah karbon nantinya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, sekaligus kelestarian lingkungan. Penerapannya program ini bagaimana? Beberapa di antaranya dengan melakukan transisi energi, dari bahan bakar fosil menuju alternatif energi baru dan terbarukan, reforestasi lahan seluas 1 juta hektare hingga 2024, meningkatkan produktivitas lahan, investasi hijau, konservasi, dan menyetop penerbitan izin usaha di kawasan lahan gambut serta area hutan.
Tulisan ini tentu jauh dari kata sempurna. Namun demikian, saya berharap melalui tulisan ini bisa memantik kesadaran kita untuk mencintai hutan Indonesia dan melestarikannya demi bumi tercinta. Hutan merupakan semesta kecil yang memberikan ruh kehidupan. Sudah selayaknya kita berterima kasih dengan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Selamat hari Bumi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar