Halaman

Kamis, 22 April 2021

Sampahku Tanggungjawabku : Bijak Bajik Kelola Sampah Dimulai dari Diri Sendiri

Jam menunjukkan pukul 09.15. Truk-truk pengangkut sampah berwarna hijau silih berganti mengantarkan sampah-sampah menuju TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Degayu yang berlokasi tak jauh dari pantai Slamaran, Kota Pekalongan. Ekskavator, mesin pengeruk sampah berwarna kuning teronggok di hamparan gunungan sampah. 

 Sebuah Ekskavator di antara gunungan sampah di TPA. Dokumentasi pribadi

Pak Slamet merupakan satu dari puluhan orang yang berburu rejeki dengan mengais sampah di TPA seluas 5,8 hektare ini. Selepas azan subuh berkumandang, Pak Slamet bergegas ke masjid yang jaraknya kurang lebih 100 meter dari rumahnya. Selepas salat, Pak Slamet menikmati sarapan pagi yang dibuat istrinya. Di pagi buta sebelum anak-anak berangkat sekolah, pak Slamet sudah mengayuh sepeda tuanya, memungut botol-botol plastik, kardus bekas, atau apapun barang yang ditemukan di jalanan yang nantinya bisa ditukar dengan uang. Sesampainya di TPA, Pak Slamet menyiapkan karung berukuran besar untuk memilah botol-botol Plastik yang sekiranya masih bagus untuk nantinya dijual.

Sampah plastik dan kaleng di TPA Degayu. Dokumentasi pribadi
Mereka yang mengais rejeki dari sampah di TPA Degayu. Dokumentasi pribadi

Bekerja sebagai pemungut sampah seperti pak Slamet bukannya tanpa risiko. Paparan bau yang tak sedap, risiko terkena serpihan kaca dan benda tajam lainnya, riskan terpapar diare, gangguan gastrointestinal, terpeleset gunungan sampah, dan risiko-risiko yang lain. 

Tahun 2021, kondisi volume sampah di TPA Degayu sudah dalam kondisi overload, mengkhawatirkan. Dengan tinggi gunungan sampah telah mencapai 20 meter sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah setempat. Permasalahan yang kerapkali muncul sebuah TPA adalah polusi udara yang mengganggu pemukiman warga, gas metana yang terbakar di antara tumpukan sampah, dan pencemaran leachate (air hasil dekomposisi sampah yang bisa meresap dan mencemari tanah).

“Tahun 2015, pernah terjadi kebakaran di TPA Degayu. Itu api sudah dipadamkan sama beberapa damkar hingga menjelang jam 12 malam, subuh-subuh apinya keluar lagi.” Tutur pak Slamet kepada saya. Pemicu kebakaran adalah gas metana dari gunungan sampah yang ada. Akibat kebakaran tersebut, asap pekat serta bau yang tidak sedap dari sampah terbawa hingga ke pemukiman warga. Beberapa warga yang bekerja di tambak-tambak udang merasakan sesak napas dan mata pedih akibat asap plus bau yang tak mengenakkan ini.

Kepulan asap akibat gas metana di TPA Degayu tahun 2015.
Dokumentasi ANTARA Foto/Pradita Utama
Meskipun bukan tragedi besar, peristiwa kebakaran akibat gas metana yang membakar sebagian lahan di TPA Degayu jangan dianggap sebagai hal yang sepele. Tragedi ledakan gas metana terdahsyat di negeri ini pernah terjadi di Leuwigajah, Cimahi (Jawa Barat) pada 21 Februari 2005. Ledakan tersebut diiringi longsornya gunungan sampah TPA Leuwigajah yang meluluhlantakkan dua pemukiman warga (Kampung Cilimus dan Pojok). Efek yang ditimbulkan begitu mengerikan, karena insiden mendadak tersebut 157 jiwa melayang. 

Masyarakat Indonesia tentunya berduka. Demi mengenang peristiwa pahit tersebut (supaya menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang) tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional). Gerakan bijak kelola sampah mulai digaungkan. Meskipun belumlah masif dan menyeluruh, sedikit demi sedikit masyarakat tergerak hati untuk peduli dan bertanggungjawab atas sampah yang ditimbulkannya

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jumlah sampah skala nasional mencapai 67,8 juta ton pada tahun 2020, hingga tahun 2050 diperkirakan jumlahnya akan bertambah lebih dari dua kali lipat. Perlu pengelolaan tingkat lanjut, inovasi teknologi, dan sejumlah investasi supaya tata kelola sampah menjadi lebih baik dan tidak menjadi momok yang mengerikan di kemudian hari. Selain itu, kita perlu mengadopsi konsep ekonomi sirkular dengan memanfaatkan sampah organik dan anorganik, menciptakan nilai ekonomis melalui proses reduce, reuse, recycle

Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Konsumsi sampah plastik per kapita mencapai 20 kilogram per tahun. Di level industri, penggunaan plastik untuk kemasan menyentuh angka 65 persen terhadap konsumi plastik skala nasional. Berdasarkan hal tersebut, sejumlah industri mulai menyadari dampak sampah yang ditimbulkan atas aktivitas bisnisnya. Semakin ke sini masyarakat semakin cerdas. Konsumen semakin teredukasi mengenai bagaimana kepedulian brand perusahaan terhadap pengelolaan sampahnya.

Seminggu lalu, sebuah iklan muncul di beranda twitter saya, sebuah brand di bidang Foods & Beverages terkemuka mengkampanyekan mengurangi penggunaan sepertiga virgin plastik hingga 2025. Kemarin, seorang kawan blogger menghadiri RUPS (rapat Umum Pemegang Saham) dan mendapatkan suvenir cantik berupa tas dari bahan daur ulang botol plastik, ini unik! 

Saat pandemi, sampah rumah tangga dan limbah medis angkanya mengalami kenaikan sebesar 36%. Merujuk pada statistik dari KLHK, setidaknya 66,8% rumah tangga domestik masih melakukan aktivitas membakar sampahnya, alih-alih mendaur ulang. Hanya 1,2% yang memiliki kesadaran akan Reuse, Reduce, Recycle. Tak perlu menunggu disentil bencana sehingga kesadaran akan pengelolaan sampah bertumbuh. Yuk mulai dari diri sendiri, bijak dan bajik dalam kelola sampah. Sebab sampahku adalah tanggungjawabku.

Bijak bajik kelola sampah yang sudah kuterapkan.

1. Saya memanfaatkan eco/tote bag alih-alih tas kresek/plastik saat berbelanja. Tas kresek memiliki sifat destruktif terhadap lingkungan dan sukar diurai mikroorganisme yang ada di tanah.
Belanja sayuran menggunakan tote bag. Dokumentasi pribadi
Koleksi sebagian tote bag saya. Dokumentasi pribadi
2. Sisa sayuran, daun kering/basah, dan sampah organik lainnya saya ubah menjadi pupuk kompos.
Proses komposting sampah organik. Dokumentasi pribadi
3. Memanfaatkan botol bekas kemasan minuman untuk pot tanaman. Adapun pupuknya diambil dari pupuk kompos di atas.
Botol bekas jadi pot tanaman. Dokumentasi pribadi
Botol bekas jadi pot tanaman. Dokumentasi pribadi
4. Menggunakan masker kain saat keluar rumah demi mengurangi limbah masker medis.
Dokumentasi pribadi
5. Tidak membuang sampah sembarangan saat traveling. Saya menyediakan kantung khusus di ransel sebagai wadah sampah. Tak elok rasanya tempat wisata yang cantik berceceran sampah. 
Saat saya berwisata ke hutan. Sampahku tanggungjawabku. Dokumentasi pribadi.
6. Mengirim botol bekas kemasan ke Waste4Change untuk didaur ulang. Waste4Change merupakan perusahaan Waste Management Indonesia yang memiliki misi mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA. Selain mengelola sampah perusahaan, Waste4Change juga melayani sampah individu dalam Personal Waste Management
Botol Kemasan untuk Waste4Change. Dokumentasi pribadi
Mengirim paket berisi botol minuman kemasan (bekas) ke Waste4Change sangatlah mudah. Demikian cara sederhana saya bertanggung jawab terhadap sampah, bijak bajik kelola sampah dimulai dari diri sendiri. Jangan sampai berhenti di sini. Yuk bagikan juga ceritamu mengelola sampah pribadi di berbagai platform yang kamu miliki.

Selasa, 20 April 2021

Memperingati Hari Bumi: Cinta Hutan, Cinta juga Produk Lokal Hasil Hutan

Sebagai sebuah ekosistem, hutan memiliki beragam fungsi. Hutan berperan penting dalam menjaga siklus keseimbangan air/udara, sumber keanekaragaman hayati, sekaligus sumber pangan dan papan. Keanekaragaman hayati gen, spesies, dan pada ekosistem hutan satu dengan hutan lain tidaklah sama dan masing-masing memiliki ciri khas. Vegetasi hutan di bumi Kalimantan tentu berbeda dengan yang ada di Jawa. Di Kalimantan, kamu bisa menemui buah-buahan hutan seperti buah rambai, buah kapul, keledang, durian merah, dan sebagainya. Tentu nama tersebut sangatlah asing, barangkali kamu juga belum pernah mencobanya. Adapun di Jawa, khususnya di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, kamu bisa menjumpai buah carica atau pepaya gunung sebagai oleh-oleh. Di Papua dan kawasan Indonesia Timur, kamu bisa mencicipi buah matoa (Pometia pinnata) yang memiliki rasa dan aroma yang khas.

Keanekaragaman hayati pada hutan turut berkontribusi pada sistem pertanian tradisional dan ketahanan pangan di suatu kawasan. Berawal mengambil langsung dari hutan, spesies-spesies hewan dan tumbuhan yang mulanya liar, kemudian didomestifikasi, dikembangkan di sistem pertanian lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Sebagian spesies yang lain tetap dibiarkan tumbuh di hutan, menjadi bagian yang menyatu dengan alam. 

Deforestasi menjadi momok menakutkan yang mengancam kita semua, baik secara langsung maupun tak langsung. Cepat atau lambat. Tentunya masyarakat sekitar daerah yang mengalami deforestasi pasti bisa merasakan dampaknya. Deforestasi bisa dilakukan secara sengaja ataupun tidak sengaja, intinya hutan ditebang secara serampangan, diambil kayunya, dibakar untuk mengubah lahan hutan menjadi nonhutan (misal menjadi kawasan bisnis, pemukiman, lahan sawit). Faktor terbesar yang berpengaruh terhadap laju deforestasi antara lain konversi lahan, illegal logging, kebakaran hutan, serta penggunaan kayu bakar (sumber : WWF). Menurut WALHI, organisasi independen nonprofit yang peduli terhadap isu lingkungan, menyatakan bahwa deforestasi menjadi ancaman serius bagi hutan Indonesia. Penyumbang terbesar deforestasi ini adalah konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan tambang. 

Masih terngiang jelas kala kebakaran hutan dan kabut asap melanda Sebagian Sumatera dan Kalimantan di tahun 2019 silam. Semua terkena dampaknya. Dana yang ditelan sebagai upaya untuk memadamkan asap/api pastinya tidak sedikit. Pasokan pangan semakin menipis, adapun distribusi logistik menjadi sulit. Banyak penerbangan menuju Sumatera dan Kalimantan atau sebaliknya yang dibatalkan dan ditunda. Tak terhitung seberapa besar keanekaragaman hayati hutan yang hilang akibat kebakaran tersebut. Kerugian tidak bersifat hanya material tetapi juga nonmaterial. Tubuh menjadi rentan terhadap penyakit, kondisi kestabilan psikologis menjadi terganggu.

Semua geram. Tentu saja. Namun demikian, sangat diperlukan tindakan preventif untuk mencegah hal tersebut terulang kembali di masa depan. Paling tidak terdapat langkah-langkah meminimalisasi deforestasi, semisal penghijauan atau aksi tanam sekian ribu batang pohon untuk sekian hektar tanah. Sebab hutan memiliki fungsi holistik, sebagai ketahanan pangan, sumber papan, obat-obatan, energi, keseimbangan siklus air dan udara. Jika satu keseimbangan terganggu, terganggu pula mekanisme kehidupan lainnya. Intinya, kita jaga hutan, hutan pulalah yang akan menjaga kita. 

Memperingati Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April besok organisasi yang memiliki concern terhadap lingkungan hidup yakni WALHI, Hutan Itu Indonesia, Lingkar Temu Kabupaten Lestari bekerjasama dengan Blogger Perempuan Network mengadakan virtual event "Eco Blogger Squad Earth Day Gathering" dengan tajuk "Hutan Indonesia Sebagai Salah Satu Solusi Perubahan Iklim." 

Kenapa sih Arinta beberapa kali bikin artikel yang mengulas tentang hutan dan lingkungan hidup? Ini semua bermula ketika saya pertama kali menjejak bumi Kalimantan pada tahun 2019. Seharusnya keberangkatan saya dan tim dijadwalkan sekitar bulan Agustus kalau enggak September. Namun karena terjadi karhutla yang berlarut-larut, kedatangan saya ke Borneo tertunda hingga  bulan Desember. Cukup lama kan? Itu semua belum cukup. Selain perihal penundaan keberangkatan, hati saya terperangah bercampur sedih ketika menyaksikan hamparan hutan pada titik-titik tertentu menghitam jika dilihat dari jendela pesawat.  Kemudian terbersit hati saya untuk menuliskan mengenai hutan. Kita perlu menjaga hutan sebab nantinya hutan jualah yang akan menjaga kita.
Kebakaran hutan di Kalimantan Tengah dilihat dari udara. Dokumentasi: Antara Foto
Dalam Eco Blogger Earth Day Gathering tersebut narasumber dari Walhi, yuyun Harmono menuturkan pentingnya menjaga hutan demi kelangsungan tidak hanya generasi hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang. Komunitas adat yang dekat dengan hutan yang paling terdampak secara langsung jika terjadi kerusakan hutan. Bagaimana tidak, komunitas adat mengandalkan hidup dari alam. Komunitas adat sangatlah tergantung pada hasil hutan dan sekitarnya. Salah satunya Komunitas Adat Seberuang. Komunitas ini berada di Dusun Silit, sebuah dusun yang berada di pedalaman Sintang, Kalimantan Barat. Hebatnya masyarakat adat Seberuang ini sudah mandiri atas ruang hidup dan energi.  Sudah lama tinggal di hutan menjadikan komunitas adat Seberuang memanfaatkan hasil hutan secara lestari. 

Kita perlu belajar kemandirian energi dari warga adat Seberuang, sebab komunitas ini menjadikan pembangkit listrik tenaga mikrohidro untuk menerangi dusunnya. Saat ini Komunitas adat Seberuang sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan hutan adat. Kita doakan semoga perjuangan ini segera berbuah manis. 

Masih menurut Yuyun Harmono, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2009 hingga 2019), hidrometeorologi menjadi penyebab banyaknya bencana yang ada di Indonesia. Secara garis besar hidrometerologi merupakan bencana yang dampaknya dipicu oleh kondisi cuaca dan iklim. Perubahan iklim bukan mitos gaes. Bukan isapan jempol. Perubahan iklim itu nyata adanya. Bencana hidrometeorologi menyebabkan banjir, puting beliung, angin bahorok, El Nino, La Nina, dan masih banyak lagi. Tahun 2021, setelah banjir bandang melanda Kalimantan Selatan, Siklon Seroja hampir menenggelamkan sebuah desa di Kupang, Nusa Tenggara Timur. 
Cara mendekatkan dan memperkenalkan hutan kepada khalayak luas di era digital bisa dilakukan melalui cerita, melalui bertutur. Sesekali jalan-jalanlah ke hutan. Ceritakan betapa asyik dan serunya menjelajah hutan-hutan yang ada di Indonesia. Traveling ke gunung dan pantai sudah begitu mainstraim. Sesekali main-mainlah ke hutan. kemudian bagikan pengalaman tersebut melalui thread di twitter, postingan di blog, instagram story, podcast, dan sebagainya. 

Utas saya mengenai pengalaman berkunjung ke Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah memiliki impresi 73.858 view secara keseluruhan, dengan tampilan media lebih dari 12.000 view. Saya kira angka ini sangatlah kecil jika dibandingkan trit viral lainnya. Namun demikian, saya sangat puas atas utas yang saya buat.
Saya mencintai hutan dengan cara sederhana, yakni dengan membagikan narasi perjalanan saya menjelajah hutan supaya orang lain terinspirasi untuk senantiasa menjaga hutan dan alam Indonesia. Tunjukkan kita bisa berwisata dengan cara yang baik, beretika, serta bertanggungjawab. Sebenarnya ada banyak cara mencintai hutan, jalan-jalan dan berbagi kisah salah satunya. Selain itu kita bisa berkampanye mengenai hutan, berdonasi untuk kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas lingkungan hidup, adopsi pohon dan bibit tanaman hutan, terakhir membeli produk lokal bukan kayu masyarakat setempat. 

Cinta hutan, cinta juga produk lokal hasil hutan. Di artikel saya sebelumnya yang berjudul Lestarikan Cantikmu dengan Kopi Rempah Kalimantan Tengah, saya memperkenalkan komoditas lokal hasil hutan bukan kayu berupa kopi dan rempah yang diolah menadi minuman kesehatan dan tentunya bernilai komersil. Dengan membeli produk lokal berarti kita turut berkontribusi dan menciptakan pundi-pundi rejeki untuk petani dan juga wirausahawan yang menciptakan produk tersebut.
Selain itu saya merekomendasikan 2 produk lokal hasil hutan bukan kayu sebagai berikut. Su.Re Cofffe dan Sago Sapapua. Dua produk yang saya sebutkan ini menurut saya menarik karena turut berkontribusi pada isu perubahan iklim, kelestarian lingkungan, dan isu sosial (fair trade).

Pertama, Sago Pancake Mix SAPAPUA. Pati sagu ini diambil dari pohon sagu yang tumbuh alami di lahan gambut dan tentunya bebas pestisida, so bisa dipastikan sagu ini ramah lingkungan ya. Sagu ini diproduksi di Sorong Selatan, Papua Barat. 

Produksi sagu ini memberdayakan masyarakat setempat. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Tbk selaku perusahaan yang memproduksi sagu tersebut berkomitmen meningkatkan inovasi sekaligus upaya pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Komitmen lain yang dilakukan Austindo Nusantara Jaya di antaranya: konservasi gambut serta tidak melakukan pengembangan baru di kawasan gambut pada kedalaman berapapun, mengurangi emisi gas rumah kaca, tidak melakukan pembakaran lahan, mengurangi polusi, melakukan proteksi dan konservasi kawasan hutan primer, dan mengurangi penggunaan pestisida.

Adanya fair trade, menjadikan industri yang menghasilkan suatu komoditas memberikan standar keamanan, keselamatan, kesejahteraan (sistem pengupahan) yang baik lagi adil bagi pekerjanya. Ini yang sudah dilakukan Austindo Nusantara Jaya. Tidak ada pekerja anak dan pekerja paksa di PT Austindo Nusantara Jaya. Perusahaan ini juga memerhatikan isu kesetaraan gender sehingga para pekerja perempuan diberi kesempatan yang sama dalam hal peningkatan taraf ekonomi. Para pekerja juga mendapatkan pemberian upah, bonus yang wajar, aserta promosi jabatan yang tidak bias gender. Keselamatan dan keamanan kerja (K3) dilakukan sesuai prosedur sehingga meminimalisasi angka kecelakaan kerja.
Kedua, Su.Re Coffe. Kopi ini diproduksi di Bali, kamu bisa mendapatkan kopi ini di Jalan Dalem Gede No 25 Mengwi, Badung, Bali. Seperti halnya Sagu Sapapua, Su.Re Coffee juga mendukung pengurangan efek gas rumah kaca, mendukung perubahan iklim, dan pemberdayaan petani lokal. Setiap kita membeli produk Su.Re Coffee, 15% digunakan untuk biogas dan sekolah lapangan iklim. 
Balik lagi ke topik Eco Blogger Earth Gathering. Gita Syaharani dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari menyentil isu pembangunan rendah karbon sebagai langkah yang ditempuh pemerintah yang tertuang dalam rencana pembangunan nasional (pergeseran paradigma menuju ekonomi hijau). Pembangunan rendah karbon nantinya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, sekaligus kelestarian lingkungan. Penerapannya program ini bagaimana? Beberapa di antaranya dengan melakukan transisi energi, dari bahan bakar fosil menuju alternatif energi baru dan terbarukan, reforestasi lahan seluas 1 juta hektare hingga 2024, meningkatkan produktivitas lahan, investasi hijau, konservasi, dan menyetop penerbitan izin usaha di kawasan lahan gambut serta area hutan. 

Tulisan ini tentu jauh dari kata sempurna. Namun demikian, saya berharap melalui tulisan ini bisa memantik kesadaran kita untuk mencintai hutan Indonesia dan melestarikannya demi bumi tercinta. Hutan merupakan semesta kecil yang memberikan ruh kehidupan. Sudah selayaknya kita berterima kasih dengan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Selamat hari Bumi!