Beberapa waktu yang lalu saya, Arum, dan Ratna terlibat percakapan daring. Kami bertiga satu kampus tetapi beda jurusan. Setelah lulus kuliah, kami masing-masing bekerja dan komunikasi menjadi terbatas. Di masa pandemi seperti ini, kami memutuskan bersua, meski secara daring. Kabar baiknya, Ratna akan segera menikah, meski rencana pernikahannya diundur hingga akhir tahun. Seharusnya pernikahan Ratna dilaksanakan di awal Mei lalu. Karena satu dua hal, termasuk Covid-19, pernikahan tersebut akhirnya diundur.
“Baiknya setelah menikah, tinggal di rumah mertua, ngontrak, atau beli rumah sendiri ya? Bingung…” Ungkap Ratna kepada Saya dan Arum.
Saya menyarankan kepada Ratna mending beli rumah sendiri kalau ada dana. Jangan tinggal di rumah mertua ataupun orangtua. Kalau ngontrak paling tidak Ratna harus menyiapkan dana 20 hingga 25 juta per tahun. Uang segitu daripada buat ngontrak mending buat nyicil KPR. Saya berpikir kalau bujet terbatas, lebih baik punya rumah sederhana, tetapi milik sendiri daripada duit habis buat sewa.
“Inginnya sih beli rumah sendiri, tapi kalian tahu kan gaji aku sebagai guru honorer seberapa dan Mas Anton gajinya belum sanggup buat bayar DP sekaligus nyicil rumah. Selama pandemi, mas Anton kerja di rumah, gajinya gak 100% lagi." Urai Ratna.
Kami hening beberapa saat. Mungkin ini yang menyebabkan pernikahan Ratna diundur hingga akhir tahun. Ratna dan calon suaminya berusaha mengumpulkan uang buat pernikahan dan biaya pascapernikahan (kebutuhan akan rumah tinggal).
Mendingan beli rumah atau sewa saja ya? Pertanyaan klasik ini sering menggema di kalangan milenial, fresh graduate, dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Apalagi kebutuhan milenial akan rumah tinggal tergolong cukup tinggi. Saya, Ratna, Arum dan 81 juta milenial Indonesia rentang usia 26 hingga 36 tahun memiliki harapan tinggi untuk memiliki rumah pribadi. Bukan indekos apalagi mengontrak. Angka 81 juta tersebut setara dengan 31% dari total penduduk Indonesia (sumber : kementerian PUPR). Data Bank Indonesia menyebutkan bahwasanya milenial dengan rentang usia di atas mendominasi pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah tapak dan rumah susun ukuran 22-70 m2.
Masyarakat kalangan ekonomi menengah ke atas tentu dimudahkan ketika mengajukan KPR karena ada dana berlebih. Bagaimana dengan milenial dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)? Membidik milenial dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang tertarik memiliki hunian pribadi dengan harga yang tidak membuat kantong bocor, pemerintah melalui PPDPP (Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan) Kementerian PUPR membuat inovasi creative financing berupa KPR bersubsidi FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan).
Pembiayaan perumahan bersubsidi berbasis FLPP ini dikhususkan untuk masyarakat berpenghasilan ekonomi menengah ke bawah dengan pendapatan maksimal 8 juta rupiah per bulan. Jadi jika kamu dan pasanganmu memiliki pendapatan gabungan sebesar 6 juta rupiah, kamu bisa mengajukan Pembiayaan perumahan bersubsidi atau KPR FLPP. Kamu yang masih lajang, berpenghasilan 4 juta per bulan, dan ingin memiliki hunian pribadi tentu bisa mengajukan pembiayaan ini.
Aplikasi SIKASEP, inovasi marketplace perumahan bersubsidi. Produk dari suatu creative financing. Dokumentasi pribadi |
Kabar baiknya, selama masa pandemi ini, kamu tak perlu keluar rumah untuk mencari informasi mengenai pembiayaan bersubsidi berbasis FLPP ini. Untuk menjangkau masyarakat lebih luas, PPDPP Kementerian PUPR membuat aplikasi marketplace perumahan bernama SIKASEP (Sistem KPR Subsidi Perumahan). Aplikasi SIKASEP mempertemukan dan menghubungkan antara pengembang, perbankan, dan masyarakat dalam satu genggaman tangan. Kita tak perlu keluar rumah. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Tinggal klik-klik, cari rumah idaman yang tersedia di aplikasi, dan ikuti semua persyaratan dan prosedur yang sudah ditentukan. Alurnya nanti tertera di aplikasi. Tersedia pula pilihan opsi dalam memilih developer perumahan, nama bank mitra FLPP, estimasi biaya melalui kalkulator KPR FLPP, dan sebagainya.
Bagi milenial dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), creative financing bernama FLPP ini memberikan kemudahan karena menetapkan tingkat suku bunga 5% (fixed), tenor kredit hingga 20 tahun, bebas PPN dan premi asuransi, uang muka lebih ringan serta cicilan terjangkau jika dibandingkan dengan KPR non-FLPP.
Optimisme pembangunan bisa dilihat salah satunya dari alokasi anggaran infrastruktur pembiayaan perumahan dan permukiman untuk masyarakat serta bagaimana dukungan/keterlibatan BUMN dan pihak swasta di dalamnya. Inilah yang dimaksud dengan creative financing, skema pembiayaan alternatif yang bisa ditempuh oleh pemerintah melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam negeri (menggunakan dana non-APBN/APBD). Nah, anggaran untuk pembiayaan infrastruktur dari creative financing bisa diperoleh dari berbagai sumber seperti PMN (Penyertaan Modal Negara) melalui BUMN, investasi swasta dalam negeri, penerbitan obligasi pemerintah, dan sumber-sumber pendanaan lainnya. Yups, optimisme tersebut dibangun melalui investasi dan melibatkan berbagai elemen lokal Indonesia. Catat ya, bukan hutang kepada pihak asing. Nantinya anggaran untuk pembiayaan infrastruktur ini dipergunakan untuk pembangunan jalan tol, bandara, saluran irigasi, perumahan dan permukiman, dan berbagai jenis infrastrukur lain yang memiliki manfaat produktif.
Kembali ke topik pembiayaan perumahan, pada poin ini, optimisme bisa ditilik pada upaya untuk mengatasi adanya backlog (defisit) perumahan dan target penyediaan 1 juta rumah untuk rakyat. Pada Oktober 2019, program satu juta rumah untuk rakyat telah melampaui target dan terealisasi sebesar 1.002.317 unit rumah, terdiri atas 706.440 unit rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang bersumber dari pembiayaan FLPP dan 295.877 unit rumah untuk non-MBR, pembiayaan lain selain FLPP. Adapun pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dan Renstra 2020-2024 bidang pembiayaan perumahan bersubsidi, pemerintah menarget jumlah rumah tangga yang mendiami hunian layak huni meningkat dari 56,7% menjadi 70%.
Darimana sumber dana pembiayaan perumahan berbasis FLPP ini? Pada tahun 2020 sumber dana tersebut berasal dari DIPA sebesar 9 triliun, dana pengembalian pokok sebesar 2 triliun, dan BUMN pembiayaan sekunder perumahan (PT SMF) sebesar 3,7 triliun sehingga total dana keseluruhan adalah 14,7 triliun.
Bagaimana kisah mereka yang telah memperoleh manfaat produktif dari pembiayaan perumahan berbasis FLPP tersebut? Dessy Aryanti, salah satu penerima pembiayaan perumahan berbasis FLPP bertutur bahwa dirinya yang seorang single parent dan bekerja sebagai buruh di perusahaan obat herbal mampu membeli rumah tapak tipe 36/60. Adapun angsuran bulanan sebesar Rp 890.000 untuk tenor 20 tahun. Di hunian barunya (Perumahan Sultan Residence), Dessy bahagia dan bisa fokus merawat puteri semata wayangnya yang kini telah beranjak remaja.
#IniUntukKita, kita optimistis pembangunan Indonesia bisa terjadi berkat pembiayaan infrastruktur. Melalui creative financing berbasis FLPP dan aplikasi SIKASEP, mencari rumah idaman semudah dalam genggaman. Melalui creative financing berbasis FLPP, mimpi milenial dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk memiliki hunian pribadi bukan lagi menjadi sekadar angan. Bagaimana? Tertarik mencoba?
Sumber Referensi : Website Kemenkeu dan Kementerian PUPR.
Wahh ternyata untuk pemilihan rumahnya tersebar diseluruh Indonesia yaa.. Jadi gak hanya fokus di satu lokasi yang wajib dan harus tinggal disana.. Jadi gak perlu khawatir lagi kalau mau tinggal di kota mana dan dimana lokasinya ya..
BalasHapusSaya masih penasaran terkait rumah ini apakah ada modelan bentuknya ingin seperti apa melalui aplikasi tidak ya.. Atau dari sananya sudah ada template yang hampir semua rumah sama gitu..