Halaman

Rabu, 07 November 2018

Melindungi, Merajut Asa, Meretas Jerat Miskin Pekerja Rumahan

Kisah Yu Meh Pekerja Rumahan dari Kota Batik

Menjelang mentari melumat pagi, perempuan berusia hampir separuh abad melangkahkah kaki menuju tukang sayur andalannya. Sang penjual sayur yang usianya juga tak lagi muda -- barangkali 2 atau 3 tahun lebih tua darinya -- dengan gesit menawarkan kangkung, bayam, kacang panjang, ikan asin, dan beberapa jenis bahan makanan yang biasa dibeli wanita berusia hampir separuh abad tersebut. Tangan kanan perempuan berusia hampir separuh abad itu sibuk memilah ayam, wortel, kentang, dan kubis, sedang tangan kirinya menggendong balita mungil dengan muka semerah tomat.

“Weh, tibake wes pocokan po Yu? Mboronge akeh banget.” (Wah, udah bayaran ya Mbakyu? Belanja banyak sekali).” Tanya sang penjual sayur bertanya pada perempuan berusia hampir separuh abad itu. 

“Iyo, anakku kepengen jangan sop ceritane, wingi bar meriang, Yu." (iya, anakku ingin dibuatkan sayur sop ceritanya, kemaren habis kena demam, Mbakyu)” Jawab perempuan berusia hampir separuh abad itu dengan akses Pekalongan yang kental. 

Perempuan berusia hampir separuh abad kemudian mengangsurkan dua puluh ribu lusuh dari balik jariknya. Sang penjual sayur menerima uang tersebut sembari tak lupa mengingatkan hutang-hutang yang belum dilunasi perempuan berusia hampir separuh abad itu. Perempuan tersebut segera meninggalkan si tukang sayur. Bergegas pulang, memasak untuk sang buah hati. 

Yu Meh, demikian nama panggilan perempuan berusia hampir separuh abad itu. Yu sendiri kependekan dari kata Mbakyu atau bisa juga berarti orang yang lebih dituakan. Di omah gedhek berdindingkan anyaman bambu yang sudah berlubang di sana-sini, yu Meh bersama suami dan kelima anaknya tinggal. Suami Yu Meh, bekerja sebagai penjual rujak buah keliling dengan bayaran yang tak tentu. Anak pertama, kedua, dan ketiga Yu Meh semuanya perempuan, adapun anak keempat dan si bontot berjenis kelamin laki-laki. Anak perempuan Yu Meh sudah dewasa, dua di antaranya sudah menikah. Ketiga anak perempuan Yu Meh hanya mampu mengenyam pendidikan hingga bangku SD. Barangkali jejak ini akan kembali berulang pada si bontot Ucup. 

Demi mengurangi beban hidup yang menghimpit, Yu Meh bersedia menerima upah tak seberapa dari pengusaha batik di lingkungan tempat saya tinggal. Yu Meh mengambil berkodi-kodi kain batik bermotif untuk kemudian diberi warna dengan kuas. Proses ini disebut dengan istilah nyolet. Aktivitas menyolet batik dikerjakan di rumah Yu Meh sendiri. Tangan terampil Yu Meh dengan cekatan mampu mewarnai berlembar-lembar bahkan bahkan satu atau dua kodi kain batik per hari. Berapa upah yang diterima orang-orang seperti Yu Meh? Tidak banyak, hanya berkisar Rp 250-500 per lembar kain (tahun 2009 saat saya masih tinggal di Pekalongan). Istilah menerima pocokan berarti mendapat upah yang dibayar pada periode tertentu (biasanya mingguan).

Yu Meh merupakan secuil potret pekerja rumahan di wilayah yang terkenal sebagai sentra penghasil batik, Pekalongan. Dengan asumsi Yu Meh mampu menyesaikan 30 lembar kain per hari dan upah yang diterima per lembar Rp. 250, maka dalam sebulan (30 hari) Yu Meh mengantongi Rp 225.000 saja. Jumlah tersebut sepertiga kali lebih rendah dari UMR yang ditetapkan pemda pada tahun tersebut. Itu pun belum termasuk biaya membeli minyak tanah sebagai bahan bakar kompor yang digunakan untuk membatik. Tidak ada asuransi. Tidak ada jaminan sosial dan hari tua. Tidak ada perlindungan dan keselamatan kerja (K3) apabila Yu Meh terkena cipratan malam panas yang melepuhkan kulit. Tak ada perbaikan ekonomi, lihat saja anak-anak Yu Meh mengenyam pendidikan hanya pada jenjang sekolah dasar. Tidak ada payung hukum yang melindungi nasib pekerja rumah seperti Yu Meh dan kawan-kawan.

Lalu bagaimana peran dan langkah strategis yang diambil para pemangku kebijakan, LSM, media, dan dunia akademik terkait hal tersebut? Upaya-upaya seperti apa yang diperlukan guna melindungi dan meretas jerat kemiskinan para pekerja rumahan di Indonesia? 

Melindungi, Merajut Asa, Meretas Jerat Miskin Pekerja Rumahan. Mungkinkah? 

Bicara pekerja rumahan, sebenarnya apa itu pekerja rumahan dan bagaimana kontribusinya pada mata rantai produksi dan ekonomi? Masih banyak orang yang memiliki persepsi bahwasanya pekerja rumahan identik dengan pekerja lepas atau freelance worker. Ada juga orang yang memahami pekerja rumahan sebagai pembantu rumah tangga atau buruh yang bekerja di rumah majikannya. Konvensi ILO 1996 menyatakan bahwa pekerja rumahan adalah seseorang yang bekerja di dalam rumahnya atau tempat lain yang dipilihnya, di luar tempat kerja milik majikan (pengusaha), guna memperoleh upah, dan menghasilkan barang atau jasa yang telah ditetapkan oleh majikan (pengusaha) tersebut. Pekerja rumahan tidak dibayar berdasarkan jumlah jam kerja seperti halnya di pabrik, tetapi upah dibayar berdasarkan jumlah produksi tertentu yang dihasilkan. Di Indonesia, dikenal dengan model upah borongan. 

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan belum mengakui adanya pekerja rumahan yang kebanyakan bekerja di sektor infomal ini. Undang-undang ini lebih mengadvokasi buruh, karyawan, dan tenaga kerja lainnya yang bekerja dengan kontrak tertulis di suatu lembaga, instansi, industri, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu payung hukum yang kuat yang mampu melindungi hak-hak para pekerja rumahan. Sinergi dari berbagai pihak tentunya sangat dibutuhkan untuk mengkampanyekan gerakan perlindungan terhadap pekerja rumahan ini.
Dewasa ini, peran media dirasa sangat strategis dalam hal mengkampanyekan dan menyadarkan masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap pekerja rumahan. Melalui Program Radio Ruang Publik KBR, selama 4 episode KBR menyelenggarakan talkshow dan diskusi publik yang melibatkan akademisi, pemangku kepentingan (pemerintah daerah), pengusaha, dan pihak-pihak lain seperti Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, mitra MAMPU seperti Bitra, MWPRI, LSM lokal Yayasan Annisa Swasti, dan TURC. 

Bersama Bitra, pemerintah daerah Sumatera Utara saat ini tengah menggodok Raperda Ketenagakerjaan yang akan memberikan perlindungan dan akses kerja layak bagi pekerja rumahan. Fransisko Bangun selaku Kabid Perlindungan Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumut menyatakan terdapat 3000 pekerja rumahan yang kini mendapat akses BPJS ketenagaakerjaan. Jumlahnya nanti akan terus bertambah. Naskah akademik mengenai hal tersebut kini sedang digagas lebih intensif oleh fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Hal-hal yang dibahas dalam Raperda tersebut di antaranya mengenai bagaimana upah yang layak dan berperikemanusiaan untuk pekerja rumahan, lemburnya, cutinya, jaminan sosialnya, termasuk keselamatan kerjanya. 

Tidak hanya di Sumatera Utara, praktik-praktik baik untuk mengadvokasi dan melindungi pekerja rumahan pun sudah dilakukan di Yogyakarta. Yayasan Yashanti semenjak 2014 telah memberdayakan pekerja rumahan melalui pendampingan dan pembekalan keterampilan. Di Yogyakarta, sudah ada serikat yang mewadahi dan mengaspirasi agar para pekerja rumahan menjadi semakin berdaya dan memiliki daya tawar yang kuat. Dengan adanya serikat atau organisasi, pekerja rumahan bisa memperjuangkan hak-hak mereka ke pemerintah daerah. Dinas tenaga kerja pun memberikan respon positif. 

Tak mau kalah dengan Sumatera Utara dan Yogyakarta, di Kota Malang tepatnya di Kelurahan Polean telah dibentuk Sekolah khusus Perempuan Pekerja Rumahan. Sekolah ini didirikan dan difasilitasi oleh MPWRI (Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia) guna meningkatkan keahlian, pengetahuan, dan pengembangan kapasitas pekerja rumahan. 

Kabar gembira ini setidaknya menjadi angin penyejuk di tengah padang gurun yang gersang. Ah, saya jadi terkenang Yu Meh, tetangga saya yang jadi pekerja rumahan dan tinggal di omah gedhek dengan kelima anaknya yang tak mengenyam jenjang pendidikan tinggi. Miris sekaligus mengiris (hati). Cukup Yu Meh saja yang mengalami. Semoga pekerja rumahan lain beroleh pekerjaan yang layak dengan upah memadai sehingga mampu memberikan pendidikan terbaik buat anak-anaknya. Indonesia butuh lebih banyak kerja-kerja baik dan sinergi dari berbagai elemen untuk memberdayakan pekerja rumahan agar mereka mampu merajut asa, terlindungi hak-haknya, dan terlepas dari jerat kemiskinan. Mungkinkah hal itu terjadi? Sangat mungkin!

Setelah Sumut, Malang, dan Yogyakarta semoga kota-kota lain di Indonesia segera berbenah. Bergegas. Menjadi pelita bagi pekerja rumahan. 

Referensi :
1. Website KBR http://kbr.id/ 
2. Program MAMPU Dorong Pemerintah Sahkan Raperda https://intainews.com/sketsa/18415/program-mampu-dorong-pemerintah-sahkan-ranperda/